Pati resisten atau resistant starch (RS) adalah pati dan produk degradasi pati yang tidak diserap oleh usus halus manusia sehat. Seperti halnya serat pangan (SDF), pati resisten juga mengalami fermentasi oleh mikroflora usus pada dinding kolon menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid atau SCFA). Profil SCFA yang diperoleh dari RS lebih banyak mengandung butirat dan lebih sedikit mengandung asetat dibandingkan dengan serat pangan konvensional. Pati resisten mempunyai efek fisiologis yang bermanfaat pula bagi kesehatan seperti mencegah kanker kolon, mempunyai efek hipoglikemik, berperan sebagai prebiotik, mengurangi risiko pembentukan batu empedu, mempunyai efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak, dan meningkatkan absorbsi mineral (Damat, 2008).
Pati resisten atau resistant starch (RS) merupakan bagian dari pati yang tahan (resisten) terhadap hidrolisis enzim-enzim pencernaan. Pati resisten tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan karena strukturnya berupa kristal yang tidak larut air atau karena amilosa yang teretrogradasi, terutama akibat proses pada suhu tinggi. Dilihat secara fisik, dari kelarutannya, RS seperti IDF (serat pangan tidak larut), namun di dalam kolon, secara fungsional, RS dapat difermentasi oleh bakteri alami dalam usus seperti halnya SDF (serat pangan yang larut). Oleh karena itu, RS memiliki fungsi fisiologis bagi kesehatan usus.
RS ada yang bersifat alami (misalnya secara fisik, strukturnya sulit dijangkau oleh enzim) dan ada pula yang terbentuk atau sengaja dibentuk oleh karena proses pengolahan. Pati HMT (Heat Moisture Treatment) merupakan salah satu bentuk pati termodifikasi untuk memperbaiki karakteristik pati, namun dapat berakibat pada peningkatan kandungan RS.
Pati resisten (resistant starch atau RS) dibagi menjadi empat golongan, yaitu:
1. Pati resisten tipe I (RS I)
RS I merupakan pati yang resisten secara fisik karena enkapsulasi dalam matriks alaminya, seperti biji-bijian yang tidak digiling sempurna. RS I terdiri atas pati yang secara spesifik terperangkap dalam sel-sel tanaman dan matriks bahan pangan, contohnya padi yang digiling kasar. Jumlah RS I dipengaruhi oleh proses pengolahan dan dapat dikurangi atau dihilangkan dengan penggilingan.
2. Pati resisten tipe II (RS II)
RS II merupakan pati dengan bentuk granular tertentu dan secara alami lebih resisten terhadap pencernaan enzim (α-amilase), seperti yang ditemukan pada pisang yang belum matang, pati kentang mentah, dan pati jagung tinggi amilosa. Walaupun pisang biasa dimakan dalam bentuk segar tanpa pengolahan, namun pati resisten tipe II ini terdapat dalam pisang mentah yang jarang sekali dikonsumsi dalam pola makan masyarakat. Pati jagung tinggi amilosa atau high-amylose maize starch (HAMS) secara komersial dimasukkan atau digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk pangan. Bila HAMS ini dicampurkan dalam formulasi bahan pangan maka produk pangan yang dihasilkan juga dapat menjadi pangan yang bersifat seperti pati resisten.
3. Pati resisten tipe III (RS III)
RS III merupakan fraksi pati yang paling resisten, terutama berupa amilosa teretrogradasi yang terbentuk selama pendinginan pati tergelatinisasi. RS III adalah pati yang termodifikasi secara fisik (misalnya dengan pendinginan atau HMT, Heat Moisture Treatment). RS III dapat mempertahankan sifatnya selama proses pengolahan pangan.
4. Pati resisten tipe IV (RS IV)
RS IV benar-benar resisten terhadap pencernaan oleh amilase pankreas. RS IV adalah pati resisten yang memiliki ikatan kimia baru selain α-(1-4) dan α-(1-6) akibat perlakuan kimia seperti dengan garam trimetafosfat yang membentuk jembatan ester fosfat di antara dua molekul pati (Sajilata et al., 2006). RS IV adalah pati yang termodifikasi secara kimia (misalnya dengan penambahan STPP sehingga menghasilkan ikatan ester fosfat pada pati yang tidak dapat dihidrolisis), misalnya dimodifikasi secara esterifikasi, eterifikasi, dan ikatan silang.
Pati resisten memiliki sifat fungsional yang serupa dengan serat pangan. Pati resisten memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan ukuran partikel serat pangan konvensional sehingga tidak mempengaruhi tekstur produk. Hal-hal yang mempengaruhi kadar pati resisten dalam pangan antara lain:
1. Rasio amilosa : amilopektin pada pati
Amilosa yang lebih tinggi dapat meningkatkan kadar pati resisten.
2. Rasio pati : air (b/v) dalam pembuatan pati resisten
3. Proses pemanasan
Proses pemanasan akan meningkatkan kadar pati resisten yang dihasilkan.
4. Banyaknya siklus pada proses modifikasi
5. Suhu autoclaving (Sajilata et al., 2006 da).
Pati resisten (novelose) memiliki daya cerna yang relatif paling rendah (13.3429%) karena pati ini dapat lolos dari pencernaan dan masih diperoleh setelah melewati degradasi enzim secara sempurna. Novelose merupakan salah satu produk pati resisten teretrogradasi (RS III) komersial yang berbahan baku pati jagung kaya amilosa terhidrolisis (Jacobasch et al., 2006 dalam Rina Budiati, 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar